Susanto Megaranto

“Kalau tidak karena Sekolah Catur Utut Adianto, dia ngangon di sawah Mas. Sekarang dia bisa naik pesawat ke luar negeri. Bertanding ke negara orang, inilah keuntungan yang dia peroleh dari bakat catur yang dia miliki.”
KALIMAT tersebut muncul dari mulut anggota DPRD Tingkat II Indramayu, Gufroni, lima tahun lalu. Ketika itu Gufroni ikut rombongan pecatur Indonesia ke Kejuaraan Catur Brunei Darussalam. “Saya pun kalau tidak karena dia mungkin belum pernah pergi ke luar negeri,” kata Gufroni.
Gufroni ikut mendampingi Susanto sebagai ofisial dari Indramayu. Sebagai pembinanya, Gufroni turut mencarikan dana untuk membantu biaya keberangkatan Susanto dan mendampinginya ke Bandar Seri Begawan, ibu kota Brunei. Tahun itu juga Gufroni ikut ke Kejuaraan Dunia di Oropesa del Mar, Spanyol.
Susanto kecil lahir dari keluarga kurang mampu di Desa Tempel, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, 8 Oktober 1987. Ketika berumur tujuh tahun dia berkenalan dengan catur karena melihat tetangganya main catur.
“Begitu melihat saya berminat main catur, saya langsung diajari bapak di rumah. Lima bulan kemudian saya dibawa ke Pengcab Percasi Indramayu dan main dengan pecatur di sana. Melihat kemampuan saya, pengurus Pengcab memasukkan saya ke tim Indramayu untuk Kejurda Jabar di Cianjur,” tutur Susanto mengenang.

Susanto kecil tampil di Kelompok Umur (KU) 12 Tahun pada Kejurda 1995 itu karena KU 10 Tahun tidak ada untuk anak usia tujuh tahun tersebut. Ia menempati peringkat kedua dan hasil luar biasa itu membuat Pengda Percasi Jabar merekrutnya masuk tim Jabar ke Kejurnas 1995 di Palangkaraya.
Lagi-lagi Susanto membuat kejutan dengan menempati urutan ketiga di bawah juara Aswin. Dengan dua kali debut di tingkat daerah dan sekali di kejurnas, nama Susanto mulai jadi pembicaraan. Namun, tahun saat Susanto mulai meniti jalan sejarahnya justru terjadi tahun 1997.
Dimulai tampil lagi di Kejurda Jabar di Bandung dan juara, dia berangkat ke Kejurnas Banda Aceh, dan untuk pertama kali di tingkat nasional dia juara. Di tahun keberuntungan itu dia jadi perhatian pemilik Sekolah Catur Utut Adianto, Eka Putra Wirya, yang ketika itu bernama Sekolah Catur Enerpac di Roxi Mas.
“Saya ingin tahu kemampuan Susanto dan bersamaan dengan turnamen seribu babak di Wisma Catur Sumantri, Tanah Abang, saya pertemukan ia dengan murid Enerpac terbaik, Taufik Halay. Ketika mereka main imbang 2-2 dari empat babak yang digelar, saya tahu bahwa Susanto pecatur berbakat,” kata Eka.
Eka Putra Wirya langsung memasukkan Susanto sebagai salah satu murid baru Sekolah Catur Enerpac. Namun, dalam pelaksanaannya tidak mudah karena Eka harus pula memboyong kedua orangtua Susanto, Wasdirah dan Darsinah, ke Jakarta.
“Yang paling repot tidak hanya mencarikan kontrakan buat ketiga orang tersebut, melainkan juga menyediakan makan sambil mencarikan pekerjaan buat kedua orangtua Susanto. Ibu Darsinah bekerja di sebuah rumah tangga kenalan Pak Utut Adianto,” kata Eka.
Setelah ditangani oleh beberapa guru, seperti Danny Juswanto dan Tigor Hutauruk (almarhum), teori catur Susanto makin baik. Tahun itu juga ia dikirim ke Kejuaraan Dunia Yunior di Cannes, Perancis, bersama Taufik dan Evi Lindiawati. Hasilnya, Susanto berada di peringkat ke-11 di KU 10 Tahun, sementara Taufik di urutan ke-8.
Tahun berikutnya ia kembali dilibatkan dalam Kejuaraan Dunia di Oropesa del Mar, Spanyol. Kali ini terjun di KU 12 Tahun dan menempati peringkat ke-26 dari 104 peserta. Tahun 1999 ia tampil di Piala Merdeka Kuala Lumpur dan juara KU 18 Tahun. Beberapa bulan kemudian tampil lagi di Oropesa dan hasilnya juara III di KU 12 Tahun.
Sejak itu Susanto sering bertanding ke luar negeri. Tahun 2000, bersama rekan-rekannya dari Sekolah Catur Enerpac yang kemudian berganti nama menjadi Sekolah Catur Utut Adianto, seperti Tirta Chandra dan Taufik, Susanto ikut Kejuaraan Catur Beregu Piala Merdeka di Kuala Lumpur. Hasilnya, regu Indonesia juara ketiga. Di Kejuaraan Yunior Asia 2002 di Sri Lanka, Susanto berada di peringkat ke-6.
Dalam catur ada satu tolok ukur lain yang diidam-idamkan hampir semua pecatur, yaitu gelar. Susanto pun tidak lepas dari ambisi tersebut dan gelar yang diinginkannya adalah yang tertinggi dari yang ada, yakni grand master (GM). Gelar lainnya, master internasional (MI), sudah lama dimilikinya.
Gelar itu tidak mudah diambilnya. Susanto harus mengikuti pertandingan yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan norm pertama, yakni pertandingan diikuti peserta yang elo rating-nya tinggi. Kemudian disusul norm kedua dan ketika persyaratan lain, bertanding 24 untuk kedua norm dan elo minimal 2.500, barulah seseorang jadi GM.
Susanto mendapatkan Norm pertama di SEA Games XXII/2003 di Hanoi. Masih panjang baginya untuk mendapatkan gelar GM karena adanya persyaratan lain itu. Tetapi ketika ia mengikuti Olimpiade di Kalpia, Spanyol, tahun lalu ia langsung mendapat GM karena ada persyaratan khusus yang dipenuhinya yakni Total Performance Rating yang 2600 untuk 12 babak.
Susanto sekarang bukan lagi Susanto kecil yang dulu setiap ikut kejuaraan sering menerima instruksi dari manajer, harus cepat tidur, jaga kondisi, makan teratur. Konsentrasi ke pertandingan. Susanto sekarang telah berusia 17 tahun dan duduk di kelas III SMA Taman Siswa Bekasi.
Add caption
Iapun kini telah memiliki sebuah rumah seharga Rp 110 juta di Kompleks Taman Narogong Indah, Bekasi, yang dibelinya dari mengumpulkan hadiah setiap kali ia bertanding. Kedua orang tuanya yang selama ini tinggal bersamanya di Sekolah Catur Utut Adianto Bekasi, kini telah tinggal dirumah sendiri hasil jerih payah Susanto main catur.